Pembatalan Tidak Selalu Sama dengan Bersih

Peran Hukum dalam Keadilan Sosial
Hukum adalah alat yang digunakan untuk menjaga ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Namun, dalam konteks penerapannya, hukum tidak selalu cukup untuk memenuhi harapan publik. Terlebih ketika keputusan hukum seperti abolisi diambil tanpa penjelasan yang jelas atau transparan. Hal ini dapat menciptakan rasa tidak puas dan kecurigaan di kalangan masyarakat.
Apa Itu Abolisi?
Abolisi adalah tindakan hukum yang diberikan oleh presiden berdasarkan UUD 1945 Pasal 14 ayat (2). Dengan wewenang tersebut, presiden dapat memberi amnesti atau abolisi kepada seseorang yang terlibat dalam perkara hukum. Abolisi berarti menghentikan proses hukum, baik itu di tahap penyelidikan, penyidikan, maupun saat sudah di meja pengadilan.
Namun, meskipun secara hukum abolisi sah, penting untuk memahami bahwa keputusan ini tidak selalu diterima dengan baik oleh masyarakat. Masyarakat memiliki perasaan, keyakinan, dan harapan yang harus dipertimbangkan dalam proses hukum.
Hukum Itu Hitam-Putih, Tapi Keadilan Punya Banyak Warna
Hukum bekerja berdasarkan bukti, pasal, dan prosedur. Namun, masyarakat sering kali melihat masalah dari sudut pandang emosional dan sosial. Ketika seseorang mendapat abolisi, ia merasa bebas dari ancaman hukuman. Namun, bagi masyarakat, nama yang pernah terlibat dalam kasus besar tidak serta-merta bersih hanya karena hukum menyatakan demikian.
Ini menjadi titik krusial: abolisi bisa legal secara hukum, tetapi bisa terasa tidak adil di hati masyarakat. Apalagi jika prosesnya dianggap tertutup, tidak transparan, atau terkesan eksklusif.
Jejak Tak Mudah Dihapus
Di era digital, informasi mudah tersedia dan jejak digital sulit dihapus. Nama yang pernah disebut dalam kasus besar akan selalu bisa dicari di internet. Video, cuitan, atau rekaman wawancara semuanya bisa diakses dengan mudah. Masyarakat hari ini tidak lagi pasif, mereka aktif mencari informasi dan membentuk penilaian sendiri.
Ketika keputusan abolisi diumumkan, sebagian masyarakat masih bertanya: mengapa diberi? Siapa yang mengusulkan? Apa pertimbangannya? Abolisi bisa menghapus tuntutan pidana, tetapi tidak serta-merta menghapus rasa curiga. Jika ada kesan "ada yang disembunyikan", maka rasa tidak percaya akan tetap ada.
Jangan Remehkan Luka Sosial
Kasus-kasus besar sering kali menimbulkan luka kolektif, terutama jika berkaitan dengan uang negara atau penyalahgunaan jabatan. Saat pelaku tiba-tiba dibebaskan tanpa penjelasan terbuka, luka itu terasa lebih dalam. Meskipun masyarakat ramah dan sabar, mereka tetap punya batas. Mereka bisa memaafkan, tetapi ingin dihargai.
Mereka menginginkan kejelasan, bukan sekadar pernyataan pers singkat atau dokumen hukum yang dibacakan tanpa empati. Inilah yang sering luput dari pejabat: bahwa publik bukan hanya objek hukum, tapi subjek moral.
Abolisi Bukan Alat Cuci Nama
Abolisi bukan alat pembersih reputasi. Ia bukan pemutih catatan moral. Yang bisa membersihkan nama seseorang adalah sikap setelahnya. Apakah ia menjelaskan? Meminta maaf jika memang bersalah? Atau malah menjauh dari publik dan bersikap defensif?
Dalam banyak kasus, publik bisa memaafkan bila seseorang menunjukkan kesungguhan berubah. Namun, jika seseorang merasa abolisi adalah “pembebasan total” tanpa rasa tanggung jawab moral, maka masyarakat akan tetap menjaga jarak.
Negara Harus Mendengar, Bukan Sekadar Mengatur
Presiden memiliki hak konstitusional untuk memberi abolisi. Namun, dalam sistem demokrasi, tidak semua yang sah pasti pantas. Hukum sah secara formal, tetapi keadilan lahir dari rasa keterlibatan publik.
Ketika hukum terasa terlalu jauh dari keadilan sosial, kepercayaan rakyat bisa runtuh. Dan sekali kepercayaan itu hilang, sulit untuk membangunnya kembali. Orang jadi apatis, sinis, bahkan kehilangan harapan. Ini bahaya besar bagi kehidupan bernegara.
Yang Dibutuhkan Bukan Retorika, Tapi Ketulusan
Bagi tokoh yang mendapat abolisi, tantangan baru justru dimulai. Ia perlu membuktikan bahwa dirinya pantas dipercaya kembali. Ini bukan soal pencitraan, tetapi soal konsistensi, transparansi, dan keberanian menghadapi publik. Jika dia bisa menjelaskan, membuka diri, dan menunjukkan sikap yang bertanggung jawab, maka kepercayaan publik bisa tumbuh lagi, perlahan.
Tapi kalau tidak, maka abolisi hanya menjadi catatan hukum, bukan pemulih nama.
Penutup: Hukum Itu Alat, Bukan Tujuan
Kita semua ingin hidup dalam negara hukum. Tapi jangan lupa: hukum hanyalah alat. Tujuannya adalah keadilan. Dan keadilan tidak hanya dihitung dengan pasal-pasal, tapi juga dengan empati, rasa hormat, dan keberanian untuk berkata jujur.
Abolisi adalah hak presiden. Tapi hak rakyat untuk tahu dan merasa adil juga tidak bisa diabaikan. Jika dua hak ini tidak dijaga keseimbangannya, maka kita sedang menggali jurang antara penguasa dan masyarakat.
“Mari kita jaga hukum agar tetap hidup. Bukan sekadar di atas kertas, tapi juga di hati rakyat.”