ZMedia Purwodadi

Pernikahan Baru, Tidak Berarti Boros: Strategi Cerdas Kelola Keuangan Rumah Tangga dari Awal

Table of Contents
Featured Image

Pengalaman Pernikahan: Cinta dan Keuangan yang Harus Disepakati Bersama

Saya masih ingat betul percakapan singkat dengan seorang teman semasa kuliah dulu, beberapa hari setelah ia resmi menjadi suami. Dengan wajah berbinar, ia berkata, “Mas Benny ternyata menikah itu seperti main gim level sulit: bukan soal cinta lagi, tapi soal tagihan listrik dan isi kulkas.” Kalimat sederhana itu, tak sengaja, menggambarkan realitas yang jarang dibicarakan dalam seminar pranikah: bahwa cinta saja tidak cukup, sebab rumah tangga juga membutuhkan manajemen keuangan yang cerdas.

Pernikahan memang peristiwa emosional. Ia dirayakan dengan pesta, ucapan selamat, dan bulan madu. Tapi tak lama setelah pesta usai, hidup kembali ke rutinitas: kebutuhan dapur, biaya transportasi, bayar sewa rumah kontrakan, hingga wacana punya anak. Di sinilah banyak pasangan muda yang tergelincir, bukan karena kurang cinta, melainkan karena gagal membangun sistem keuangan bersama sejak awal.

Menyatukan Cinta dan Catatan Keuangan

Banyak orang takut membicarakan uang dalam rumah tangga, padahal justru di situlah akar dari banyak masalah bisa dicegah. Ketika dua orang yang baru menikah sepakat membuka seluruh kondisi keuangan masing-masing—gaji, utang, tabungan, gaya hidup—itu bukan berarti kehilangan privasi, melainkan membangun pondasi keterbukaan.

Saya dan istri, misalnya, sejak awal menyusun anggaran rumah tangga berdasarkan prinsip 50-30-20. Setiap bulan, kami alokasikan 50% untuk kebutuhan rutin, 30% untuk keinginan, dan 20% untuk tabungan atau investasi. Di atas kertas ini mungkin terlihat sederhana, tapi dalam praktiknya dibutuhkan kedisiplinan dan saling mengingatkan.

Yang sering terlupa adalah bahwa uang bukan soal jumlah, tetapi soal kebiasaan. Bahkan dengan gaji terbatas, rumah tangga bisa tetap stabil jika ada rencana dan prioritas. Sebaliknya, gaji besar sekalipun bisa lenyap dalam sekejap jika tidak diatur.

Rekening Gabung atau Pisah? Bukan Soal Romantis, Tapi Strategi

Pertanyaan ini juga kami hadapi di awal menikah. Haruskah semua uang kami gabung? Atau tetap pegang masing-masing?

Akhirnya kami berdua putuskan untuk memiliki satu rekening bersama untuk kebutuhan rumah tangga, dan masing-masing tetap punya rekening pribadi. Ini bukan soal curiga, tapi soal saling memberi ruang. Dari rekening bersama itulah kami bayar listrik, belanja dapur, membayar kebutuhan anak sekolah hingga membayar cicilan KPR.

Model seperti ini menjaga transparansi sekaligus fleksibilitas. Tak ada yang merasa dikontrol, tapi juga tak ada yang merasa dibiarkan sendiri. Karena menikah adalah tentang berjalan berdampingan, bukan saling mengawasi atau saling menggantungkan.

Dana Darurat, Investasi, dan Belajar dari Masa Sulit

Tahun kedua pernikahan kami mungkin jadi salah satu fase paling sulit. Saat itu, saya sebagai PNS harus pindah kerja dari Surabaya ke Manokwari (Sekarang masuk wilayah Papua Barat) sementara istri harus bekerja di Makasar karena sama-sama kena mutasi kerja. Kalau saja kami tidak punya dana darurat, mungkin kami akan stres berat atau terjerumus utang.

Berbekal tabungan selama hampir 2 tahun usia pernikahan, kami masih bisa bertahan dan harus berbagi dengan istri yang tempat kerjanya saling berjauhan. Saya kemudian mulai mencari penghasilan tambahan dengan membuka layanan bimbingan belajar untuk siswa yang akan melanjutkan kuliah di negara atau sekolah kedinasan. Sementara itu, istri tetap bekerja sebagai salah satu staf perbankan nasional. Banyak orang yang mengira bahwa bekerja di perbankan gaji nya pasti besar padahal di saat itu gajinya adalah standar untuk seorang staf dan tidak seperti saat ini.

Dari situlah kami mulai serius belajar investasi. Kami mulai dari yang sederhana: emas dan deposito hingga mencoba reksa dana dan saham. Pelan-pelan, kami belajar tentang obligasi negara dan reksa dana pendapatan tetap. Bukan soal mengejar kekayaan instan, tapi soal melatih uang agar bisa bekerja juga untuk masa depan kami.

Menghindari FOMO dan Hidup Sesuai Neraca Sendiri

Salah satu tantangan terbesar dalam mengatur keuangan rumah tangga hari ini adalah tekanan sosial. Media sosial dipenuhi dengan pasangan muda yang pamer liburan, belanja mewah, atau pencapaian finansial. Jika tak hati-hati, kita bisa tergoda hidup di luar batas.

Sampai dengan saat ini kami belajar untuk hidup sesuai neraca kami sendiri. Kami tetap menabung untuk liburan, tapi tidak harus di resort bintang lima. Kami membeli kebutuhan sesuai waktu, bukan sesuai tren. Kami juga belajar mengapresiasi hal-hal kecil: memasak bersama, menonton film di rumah, atau jalan sore di taman kota atau kota terdekat dari kami tinggal nggak perlu jauh-jauh yang penting bisa bareng dengan keluarga. Semua itu bukan saja hemat, tapi justru mempererat hubungan kami bahkan anak-anak kami bisa sampai kuliah di perguruan tinggi negeri karena kami selalu menerapkan hidup sesuai neraca keuangan yang telah disusun.

Merawat Cinta Lewat Keuangan yang Disepakati

Rumah tangga adalah perjalanan panjang. Bukan soal siapa lebih pintar cari uang, tapi siapa lebih cerdas merencanakan dan bertanggung jawab atasnya. Di situlah cinta diuji: bukan hanya dalam suka, tapi juga dalam pengelolaan tagihan, anggaran, dan tabungan.

Saya percaya, mengatur keuangan rumah tangga bukanlah sekadar keterampilan teknis, melainkan bagian dari membangun kedewasaan berdua. Sebab pada akhirnya, rumah tangga yang harmonis tak lahir dari banyaknya uang, tetapi dari cara mengelola uang bersama. Ketika itu berhasil, cinta bukan hanya bertahan—ia tumbuh dan berbuah. Dan pada akhirnya, saya dan istri sudah masuk usia pernikahan ke 21 tahun dan kami bersyukur telah mampu mengelola keuangan dengan bijak hingga saat ini anak-anak sudah beranjak dewasa dengan menempuh pendidikan di perguruan tinggi.